EKONOMINEWS.COM – Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria mengingatkan pentingnya akurasi data terkait polemik impor beras yang belakangan terjadi.
Menurut Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) itu, Badan Pusat Statistik (BPS) punya peran krusial dalam hal ini.
Pasalnya, data menjadi penting untuk menentukan perlu tidaknya impor.
Baca Juga:
Prabowo Subianto Kunjungi Tambak Ikan Nila Salin di Karawang, Cek Potensi Bahan Makan Bergizi Gratis
“Kunci dari semua terkait kebijakan impor atau ekspor ataupun langkah-langkah ini adalah soal data.”
” Di sinilah BPS menjadi krusial, menjadi penting perannya karena data ini jadi sumber untuk pengambilan keputusan yang lebih akurat, yang lebih cepat,” katanya dalam webinar “Polemik Impor Beras di Akhir Tahun” yang dipantau secara daring di Jakarta, Selasa 27 Desember 2022.
Hal itu menjadi penting lantaran saat ini Indonesia telah memiliki kebijakan satu data.
“Sumber data hanya satu yaitu yang mempunyai otoritas adalah BPS bisa menyampaikan data-data akurat sehingga sebagai dasar apakah perlu impor apakah tidak,” katanya.
Arif menyebut kebijakan perberasan nasional sangat sensitif secara ekonomi dan politik karena merupakan komoditas yang strategis.
Baca Juga:
Kebijakan AS dan Tiongkok Berdampak pada Ekonomi Nasional, Menteri Rosan Roeslani Ungkap Alasannya
KPK Selidiki Kasus di Kementan Soal Korupsi Penggelembungan Harga Asam untuk Kentalkan Karet
Ia menuturkan produksi beras sendiri sangat bergantung pada berbagai variabel, terlebih di tengah perubahan iklim yang saat ini terjadi.
Belum lagi guncangan dari konflik Rusia-Ukraina yang menyebabkan krisis energi sehingga harga pupuk mengalami kenaikan.
“Di sisi lain, konversi lahan yang juga selalu sehingga tantangan untuk memacu produktivitas ini sudah menjadi keniscayaan,” katanya.
Arif mengatakan fenomena atas konflik-konflik tersebut sebenarnya sudah diprediksi oleh IPB pada Agustus lalu.
Baca Juga:
Beberkan Sejumlah Indikator Ekonomi Indonesia, BI Prediksi Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 2025 dan 2026
Dalam prediksi tersebut disebutkan bahwa pada akhir tahun akan terjadi kenaikan harga dan akan terjadi penurunan produksi sekitar 0,68 persen jika dalam tiga atau empat bulan sebelumnya tidak ada upaya maksimum.
“Kalau ada effort (upaya) khusus, terobosan (breakthrough) dari pemerintah, tentu produksi akan tetap naik di atas 1 persen, dan harga lebih bisa terkendali,” kata Arif Satria.***